Di dalam tambo Minangkabau dikatakan bahwa pakaian kebesaran raja ditenun dari benang emas bernama Sangsata Kala, pandai menenun bergerak sendiri, ditenun anak bidadari (Dt. Tueh 1985). Sangsata Kala diartikan dengan songket, kain yang ditenun dengan benang emas di Minangkabau adalah kain tenunan songket.
Tenunan songket merupakan kain tenun yang ditenun oleh masyarakat Minangkabau yang dipakai sebagai bagian dari pakaian adat.
Pengertian songket di Minangkabau pada dasarnya tidak berbeda dengan kain sejenis yang dihasilkan berbagai daerah di Nusantara, yaitu merupakan tenunan yang menggunakan benang emas atau benang perak sebagai tambahan untuk membentuk motif hias (Indonesia Indah, tt). Songket mempunyai arti, yaitu jarum dari tulang yang dipergunakan untuk menyulam. Kain songket adalah kain yang disulam sewaktu proses menenun. Sedangkan bersungkit berarti menusukkan, menembus atau memasukan benang. Kata songket berasal dari kata kerja sungkit, yaitu menyungkit atau mencongkel benang (Suwati Kartiwa, 1989).
tenunan songket Minangkabau telah melalui tingkat perkembangan yang panjang sejak zaman awal masehi. Perkembangan yang dilalui secara evolusi, memperlihatkan berbagai ciri ragam hias yang saling mempengaruhi akibat asimilasi budaya setempat dengan budaya yang datang dari luar, yang tergambar dari perbaduan bahan, motif dan tehnik yang berasimilasi dengan unsur Cina, India dan pengaruh unsur Islam.
Pada awal perkembangannya tenunan songket sangat terkait dengan perdagangan benang benang emas, diperkirakan dari analisis sejarah, sekitar abad ke V Sumatera telah menjadi pusat perdagangan yang penting di kawasan Asia Tenggara. Pedagang-pedagang Cina, Arab dan India datang ke kawasan ini untuk membeli hasil-hasil hutan seperti: kopi, lada, gambir dan emas. Emas pada waktu itu sudah merupakan salah satu hasil tambang yang diperjual belikan, walaupun ketika itu dengan proses penambangan yang sangat sederhana.
Perdagangan emas ini sangat melimpah pada abad ke VII dan ke VIII, seperti yang diuraikan oleh Suwati Kartiwa, sekitar abad ke VIII Seriwijaya merupakan kerajaan yang kaya raya, sehingga emas sebagai logam mulia melimpah ruah. Sebahagian emas ini di kirim ke negeri Siam, di negeri tersebut emas diolah dan dijadikan benang emas untuk kemudian dikirimkan kembali ke Seriwijaya dan kerajaan Melayu lainnya.
Sehubungan dengan benang emas ini ada pendapat yang mengatakan bahwa benang emas merupakan benang import yang didatangkan dari Cina, yaitu dari kota Kanton bersamaan dengan datangnya benang sutera. “Benang emas dahulu kala yang dibawa oleh pedagang-pedagang Cina dai Kanton disebut dengan Macao. Istilah macao sampai sekarang masih dipakai untuk menyebut benang emas (benang makau). Sebutan tersebut pada mulanya dihubungkan dengan kata dari mana benang tersebut dahulunya berasal. Pada tahun 1557 Cina menjadikan Macao sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan di laut Cina Selatan” (Zaini Rais 1988). Diperkirakan kedatangan benang emas dari Kanton terjadi hampir bersamaan dengan kedatangan emas dari negeri Siam
Dengan masuknya benang emas dan benang sutera ke dalam seni tenun, masyarakat juga berlomba mencoba memasukan unsur benang emas ke dalam unsur tenunan mereka. Hal ini jelas membawa pengaruh terhadap songket yang dihasilkan, sehingga menghasilkan songket yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Faktor lain yang ikut mempengaruhi perbedaan desain songket latar belakang kebudayaan, adat istiadat, agama, kepercayaan dan pengetahuan seni serta pengetahuan ragam hias yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
Dilihat dari tenunan songket Minangkabau dengan latar belakang agama Islam yang kuat, desain songket yang dihasilkan banyak dipengaruhi oleh seni budaya Islam. Seni budaya Islam cenderung bermotif geometris, kaligrafi, dan bentuk tumbuh-tumbuhan. Sedangkan bagi masyarakat yang masih menganut animisme atau agama selain Islam, seperti pada masyarakat kawasan Indonesia Timur, motif manusia dan hewan menjadi desain utama yang di sakralkan dan menjadi simbol adat yang dimasukan sebagi motif dalam tenunan songket mereka.
Dalam kebudayaan Islam, seni yang mendapat tempat utama adalah seni ornamen (arabies dan geometri) dan kaligrafi. Hal ini pada mulanya disebabkan oleh larangan-larangan beberapa hadist mewujudkan image makhluk bernyawa. Larangan itu sesungguhnya tidak mutlak, karena memang dalam Al Quran tidak tercantum satu ayat pun yang berisi demikian. Ibenzani Usman (1985:97),
Dengan demikian pengaruh seni Islam sangat menonjol pada motif songket, yang pada umumnya bermotif reka geometris, salur-salur dan bentuk tumbuh-tumbuhan. Adakalanya desain yang dihasilkan memakai nama-nama makhluk hidup atau haiwan, tetapi itu hanya dalam bentuk imige yang nyatanya hanya berbentuk lengkung-lengkung, garis-garis patah dan ber macam-macam garis.